Rabu, 02 September 2015

Kitab Alfiyyah Tulisan Tangan Syaichona Cholil di PONPES AT-THOLHAWIYAH Berumur 116 Tahun, Dibeli Rp 20 Sen

                                     




Kitab Alfiyyah tulisan tangan Syaichona Cholil, Bangkalan, kini berada di Ponpes AT-THOLHAWIYAH Sumurnangka, Kec Modung, Bangkalan. Bagaimana kisahnya?

EDI KURNIADI, Bangkalan

---

PONPES  AT-THOLHAWIYAH Sumurnangka seperti kebanyakan ponpes lain. Sarat perjuangan dan hambatan. Seperti wafatnya pengasuh-pengasuh karismatiknya yang terjadi pada saat ponpes mulai merintis kemajuan-kemajuan pendidikannya.

Berdasar penuturan pengurus, ponpes ini didirikan pada 1931 oleh KH THOLHAH ROWI. Ia adalah putra Kiai Rowi Mancengan, keduanya santri Syaichona Cholil. Bahkan, Kiai Tholhah merupakan santri yang mendampingi Syaichona hingga akhir hayatnya.

Kiai Tholhah wafat pada 1995. Kemudian kemudi Ponpes  AT-THOLHAWIYAH  beralih ke putranya,KH ACHMAD SHIDIQ MUSLIM, yang saat itu berusia 40 tahun. Seperti pendahulunya, dia juga alumni Ponpes Siwalan Panji Sidoarjo dan Ponpes Sidogiri Pasuruan.

Kiai Shidiq banyak merintis kemajuan dan inovasi sistem pendidikan yang semula berciri khas salaf murni, seperti sistem sorogan dan wetonan. Meski tetap mepertahankan ciri salaf, Beliau juga merintis sistem pendidikan klasikal, seperti Madrasah At-Tholhawiyah Sifir, Ibtidaiyah (1987), Tsanawiyah (1993), dan Aliyah (1996).

Sedang untuk merespons perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), juga mendirikan SMP bekerjasama dengan PGRI pada 1994 dan mendirikan SMP dan SMA At-Tholhawiyah, masing-masing pada 2003 dan 2004.

Yang Kuasa pun berkehendak lain kepada pejuang pendidikan itu. Kiai Shidiq wafat pada 2005. Saat itu putra laki-laki pertamanya, Lora Ahmad Rowi Shidiq Muslim, baru berumur 14 tahun. Kini Lora Rowi-demikian biasa dipanggil-menjadi pewaris Kitab Alfiyyah Ibnu Malik tulisan tangan asli Syaichona Cholil. Konon, kitab bersejarah itu didapat Kiai Rowi Mancengan (Abah Kiai Tholhah) pada saat mondok di Demangan, Bangkalan.

Ceritanya, Kiai Rowi kala itu mondok di Ponpes Siwalan Panji Sidoarjo. Karena ingin pintar ilmunahwu, Kiai Rowi pun bertapa. Dalam alam bawah sadarnya, beliau mendengar "suara" yang diyakini empunya Syaichona Cholil.

"Kalau ingin pintar ilmu nahwu datanglah (mondok) ke Demangan," kata suara itu.

Kiai Rowi pun benar-benar datang ke Bangkalan untuk menuntut ilmu. Tapi, kedatangannya ditolak Syaichona sampai tiga kali. Malam harinya, Syaichona mengutus seorang santrinya untuk mencari pemuda yang ditolak mondok sampai tiga kali itu. Akhirnya, Kiai Rowi ditemukan di Kampung Rongtengah, di rumah kerabatnya.

Saat di Demangan, Kiai Rowi langsung ditawari membeli kitab ilmu nahwu (Alfiyyah) tulisan tangan seharga 10 sen. Anehnya, Kiai Rowi justru menawar dengan harga tinggi, yaitu 100 sen. Setelah tawar-menawar, akhirnya disepakati harganya 20 sen.

Kitab itu sering dipinjam santri-santri lain. Syaichona pun tahu dan melarang untuk meminjamkannya kepada siapa pun. Untuk itu, Syaichona menulis syair indah di halaman depan kitab tersebut dalam Bahasa Arab, yang artinya:

"Ingatlah wahai orang yang meminjam kitab, janganlah engkau meminjam kitabku...! Yang paling aku cintai di dunia ini adalah kitabku ini. Maka, mana mungkin sesuatu yang paling aku cintai dipinjamkan kepada orang lain..."    

Menjelang wafatnya, Kiai Rowi memberikan kitab itu kepada Kiai Tholhah Rowi yang merupakan putra sulungnya. Dari Kiai Tholhah kitab diwariskan kepada putranya, Kiai Shidiq. Terakhir diwariskan kepada Lora Rowi. 

Kitab tulisan tangan-yang aslinya karangan Ibnu Malik abad V Hijriah-itu bertarikh Dzul Qo'dah1311 Hijriah atau 1894 Masehi. Dengan demikian, kitab itu telah berumur 116 tahun. Kitab unik dan bersejarah itu merupakan satu-satunya yang ada di pondok pesantren.

Sedang satu-satunya yang pernah menyentuh (meminjam) kitab itu adalah KHR Fachrillah Aschall, cicit Syaichona Cholil, kini ketua PC NU Bangkalan. Fachrillah sangat hati-hati saat meminjam kitab itu karena kondisinya rapuh termakan usia.

Secara kaligrafis, kitab itu sangat artistik dan unik. Selain secara otentik, itu merupakan fakta sejarah kebesaran Syaichona Cholil sebagai ulama besar dan pewaris ilmu di pondok-pondok pesantren di Madura khususnya dan di Indonesia pada umumnya.

Meski merupakan pewaris "benda" bersejarah di lembaganya, Lora Rowi tetap bersahaja. Dia terus menimba ilmu. Seperti pada Ramadan ini, dia mondok ke Singosari Malang, khusus mengaji Alquran. Rutinitas kegiatan bulan puasa di ponpesnya dipercayakan kepada pengurus dan saudara-saudaranya.

"Di At-Tholhawiyah, setiap bulan puasa santri dan siswa memang tidak libur sampai nanti setelah malam nuzulul Qur'an," ujar Lora yang kini masih tercatat sebagai santri di Ponpes Sidogiri itu melalui telepon selulernya.

Rowi menambahkan, tradisi kegiatan pasaan diisi pengajian Tafsir Jalalain di siang hari dan malamnya kajian Kitab Kuning, seperti Dardir Mi'roj, Sullamuttaufiq. Pada hari tertentu bagian pengembangan sumber daya insani (PSDI) mengadakan kajian ilmiah populer dengan menghadirkan pemateri dari luar, seperti kalangan kampus, dinas kesehatan, kepolisian, dan sebagainya. "Tentang hikmah dan hasilnya saya serahkan kepada Allah," katanya merendah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar